Jayapura –
Benny Wenda, juru bicara United Liberation Movement for West Papua
menganggap pernyataan Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk New
Zealand (NZ), Tantowi Yahya sebagai pernyataan yang menunjukkan
Indonesia kehilangan argument politik dalam kasus West Papua yang
belakangan ini semakin sering dibicarakan di Pasifik maupun forum
internasional lainnya.
“Indonesia kehilangan argumen politiknya di NZ dan kawasan Pasifik.
Sebagai Dubes, Tantowi Yahya sedang kehilangan legal argument untuk
mempertahankan West Papua dalam bingkai NKRI. Sehingga Indonesia hanya
bisa mencoba meyakinkan rakyat NZ dan Pasifik dengan mengunakan kata
buronan. Ini cerita lama yang dimainkan lagi oleh Tantowi Yahya,” kata
Benny Wenda kepada Jubi, melalui sambungan telepon, Kamis (29/7/2017).
Lanjut Benny Wenda, seakan Dubes Indonesia di NZ ini baru terbangun dari
tidurnya sehingga terkaget-kaget melihat perkembangan di Pasifik,
terutama di NZ. Ia mengatakan rakyat Pasifik dan NZ sudah mengetahui
kebohongan Indonesia tentang Papua sejak lama. Kasus-kasus pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM) dan impunitas yang dimiliki TNI dan Polri yang
selama ini diduga menjadi aktor utama pelanggaran HAM Papua menjadi
sorotan publik NZ.
“Saya diberitahu oleh anggota parlemen NZ, bahwa satu minggu sebelum
saya tiba Dubes Indonesia melobi pihak Auckland University agar saya
tidak diijinkan bicara di universitas tersebut. Tapi NZ menganut
demokrasi dan kebebasan kampus, sehingga saya tidak bisa dihentikan
berbicara tentang perjuangan kemerdekaan West Papua dan pelanggaran HAM
yang terjadi,” jelas Benny Wenda.
Mengenai tuduhan buronan yang dilemparkan oleh Dubes Indonesia
kepadanya, Benny Wenda menegaskan pihak Interpol telah menghapus dirinya
dari daftar Red Notice sejak tahun 2012.
“Saya mengingat dengan baik bagaimana pemerintah Indonesia berusaha
membungkam kampanye pembebasan West Papua dengan menerbitkan Red Notice
atas nama saya kepada Interpol pada tahun 2011. Pemberitahuan itu
belakangan diabaikan Interpol karena mereka menganggap itu sangat
politis. Kata buronan itu bermuatan politis untuk Indonesia. Argumen
yang tidak berdasar. Sudah terbukti di pengadilan internasional,” ungkap
Benny Wenda.
Pihak Indonesia berupaya memasukkan nama Benny Wenda dalam daftar
International Arrest Warrant Interpol sejak tahun 2000, setelah Billy
Wibisono, sekretaris bidang informasi dan sosial budaya Kedubes
Indonesia di Inggris menuduh Benny Wenda dan beberapa rekannya terlibat
dalam penyerangan pos polisi di Abepura pada tanggal 7 Desember 2000
yang menyebabkan beberapa orang tewas dan kerusakan di kantor polisi
tersebut.
Tahun 2012, Komisi Pengawasan File Interpol (Commission for the Control
of Interpol’s Files) mengirimkan surat kepada Fair Trials International,
yang berkampanye untuk Benny Wenda. Isi surat tersebut antara lain
mengatakan bahwa kasus Benny Wenda telah dihapus dari daftar buronan
Interpol.
“Setelah kembali memeriksa semua informasi yang tersedia untuk itu …
Komisi akhirnya menilai bahwa kasus terhadap klien Anda adalah masalah
politik biasa,” kata surat dari Komisi Pengawasan File Interpol
sebagaimana dilansir BBC.
Benny Wenda dalam kunjungannya ke NZ bulan Mei lalu menyempatkan dirinya
berbicara dalam “public event” di beberapa kampus NZ. Dalam setiap
kesempatan tersebut, Benny Wenda menyampaikan keinginan rakyat Papua
untuk merdeka dan berdaulat sebagai negara sendiri, lepas dari
Indonesia. Ia juga memaparkan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang terjadi di Papua sejak tahun 1960an.
Aktivitas Benny Wenda ini menyebabkan Dubes Indonesia untuk NZ,
menyampaikan keprihatinan atas penggunaan beberapa kampus di NZ termasuk
Victoria University of Wellington (VUW) oleh Benny Wenda. Bahkan saat
bertemu dengan Rektor Victoria University of Wellington, Prof. Grant
Guilford, Dubes Indonesia ini menyebut Benny Wenda sebagai buronan yang
sebenarnya tidak berhak berbicara atas nama masyarakat Papua. Ia juga
menuduh Benny Wenda menyampaikan kebohongan tentang Papua.
Namun Sesuai Undang-undang Pendidikan NZ, kampus tidak bisa melarang
kebebasan civitas akademika universitas dalam menyampaikan pendapatnya
(academic freedom).
Benny Wenda tidak hanya tinggal sejauh 9.000 mil dari Indonesia dan
hidup dalam pengasingan di Inggris, tapi ia juga merupakan pemimpin
gerakan kemerdekaan yang mencintai perdamaian. Sebagai nominator Nobel
Perdamaian, selama ini ia selalu mengadvokasi solusi damai agar warga
Papua dapat dengan tenang menjalankan hak dasar mereka untuk menentukan
nasib sendiri melalui sebuah referendum kemerdekaan. (*)
Sumber : http://tabloidjubi.com